• SMP FK BINA MUDA CICALENGKA
  • KIPAS: Kreatif, Inovatif, Prestasi, Asri, Santun

RAMADAN TERAKHIR

Ramadan Terakhir

Karya Fanny Hanifa Muslimah, S.Pd

 

Ramadan tahun ini sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tidak ada yang berbeda pun spesial. Hanya ada aku dan Ibu yang sudah semakin dimakan usia. Lauk sahur kami juga sederhana, tidak ada yang istimewa, hanya nasi putih yang sudah dingin dan sedikit mengerak, juga telur mata sapi yang diberi kecap manis. Ibu tidak pernah memasak ketika hanya ada aku di rumah, berulang kali aku ucapkan rindu pada masakan Ibu juga tidak pernah digubris. Namun, semua itu akan berbeda ketika Aa dan Akang pulang. Ibu akan menyajikan lauk paling mewah dan membersihkan rumah seakan-akan kedatangan pejabat paling masyhur di muka bumi.

Kalau boleh dibilang, aku iri pada Aa dan AkangSebagai anak bungsu, kasih sayang baik dari materi ataupun non-materi, semua terasa terenggut oleh mereka. Bahkan sampai sekarang, Ibu selalu membangga-banggakan mereka, padahal mereka hanya pulang satu tahun sekali saat idulfitri. Ah, itupun hanya bertahan dua hari, paling lama tiga hari di rumah. Ya, lagipula siapapun dari kota tidak akan betah singgah lama-lama di desa pinggiran kabupaten.

Ibu mungkin tidak merasa, tetapi aku sebagai anak bungsu merasa bahwa kami telah dibuang oleh Aa dan Akang. Bagaimana tidak dibuang, jika hidup kami yang pas-pasan ini tidak pernah dilirik oleh mereka. Di saat kami — ah, aku tepatnya, menangisi hidup, mereka di sana sedang bahagia bersama keluarga masing-masing dengan hidup serba berkecukupan.

Aa beserta istri dan ketiga anaknya menetap di ibu kota, rumahnya berada di kawasan para selebritas kaya tanah air. Sementara Akang beserta istri dan kedua anaknya menetap di luar pulau, rumahnya begitu luas dan megah.

“Ibu mau telepon Aa sama Akang dulu. Cuci piringnya jangan lupa,” ucap Ibu sembari beranjak dari meja makan.

Aku hanya mengangguk, tidak langsung mengais piring untuk dicuci. Kedua sorot mataku kini sepenuhnya pada Ibu yang sedang melakukan panggilan telepon.

Assalamu’alaikum Bu? Bu, nanti dulu ya teleponnya. Aa kesiangan sahur!”

“Sebentar, Aa pulang kan nanti ke rumah?”

“Duh, pekerjaan Aa banyak, Bu. Nanti idulfitri Aa pulang! Udah dulu ya, Bu. Assalamu’alaikum”

Samar-samar aku dapat mendengar suara Aa, sepertinya ia tak pulang lagi. Terlihat dari raut wajah Ibu yang sedikit murung, namun masih sedikit menyimpan harapan untuk Akang.

“Assalamu’alaikum, Kang?”

“Waalaikumsalam, Bu.”

“Akang sudah sahur? Aa tadi kesiangan, Akang nggak kan?”

“Nggak, Bu. Akang sama Rosa tepat waktu.”

“Akang sahur sama apa?”

“Ayam goreng kecap sama tempe bacem, Bu.”

“Akang puasa tahun ini pulang, kan?”

“Duh, sepertinya belum bisa. Akang harus pergi ke Thailand, Bu. Nanti saja idulfitri kita ketemu. Udah dulu ya, Bu. Sebentar lagi imsak. Assalamu’alaikum!”

Akang juga tidak pulang sepertinya, terlihat dari raut wajah Ibu yang muram tak bercahaya. Ibu selalu seperti itu ketika mereka tak pulang, sementara aku sudah tak peduli lagi. Bahkan adakalanya aku lupa jika memiliki dua orang kakak.

“Hanisa? Nggak cuci piring?”

Aku tersentak begitu Ibu menatapku bingung. “Iya, ini mau.”

Menjelang buka puasa, Ibu tidak ada di rumah. Sepertinya Ibu pergi ke rumah tetangga sebelah, Bu Tinah, entah sedang apa, mungkin menyombongkan Aa dan Akang lagi. Ah, lupakan soal mereka. Karena yang lebih penting sekarang ialah surat lamaran pekerjaanku yang entah sudah ditolak berapa kali.

Sejujurnya aku lelah mencari pekerjaan di kota kembang, tak ada tempat yang mau menampungku sebagai salah satu karyawannya. Dari perusahaan satu ke perusahaan lain, tak pernah ada yang menjawab balasan suratku. Muak rasanya melihat kotak masuk email yang hanya berisikan spam. Pernah satu kali aku maju menuju meja interview, namun sialnya aku harus siap ditempatkan di Jakarta Selatan, dan tentu saja itu tidak mungkin aku ambil.

Aku tidak mungkin meninggalkan Ibu sendirian di rumah kecil ini, aku tak ingin membuang Ibu sama seperti kedua kakakku membuang kami. Tidak, aku tidak mau itu terjadi. Namun di sisi lain, pekerjaan di luar kota kembang lebih menjanjikan, aku juga bisa mendapatkan peluang lebih besar.

“Argh!”

Aku kesal setengah mati karena tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Semuanya serasa jalan buntu tanpa ada jalan pintas untuk keluar.

Dengan hati yang berkecamuk riuh, aku mengambil pena yang terselip di antara timbunan kertas, lantas mengambil buku kecil di sudut meja untuk menulis. Ya, setidaknya hanya ini yang bisa aku lakukan untuk melepas penat.

Ketika jalan yang diambil ternyata buntu dan tidak ada jalan pintas untuk keluar, satu-satunya jalan hanyalah mengepakan sayap untuk terbang ke atas, mengeksplor dunia luar yang tak pernah terjamah oleh langkah.

Namun apa daya, mengepakan sayap berarti meninggalkan tanah berpijak.

Biarlah, biarlah aku jadi burung yang tak bersayap.

Hanisa, satu hari di bulan Ramadan.

“Hanisa, siapin buka puasa!”

Itu suara Ibu, ia baru saja pulang tepat setelah aku menyelsaikan tulisanku. Buru-buru aku keluar, sebelum Ibu kembali memanggil dengan nada kesal.

“Ibu bawa apa?” tanyaku setelah melihat kantung kresek di tangannya.

“Kolak dari Bu Dewi, lumayan buat takjil. Lain kali kamu juga bikin kolak, dong!”

Aku hanya mengangguk, tak menanggapi pernyataan Ibu. Mungkin Ibu lupa, terakhir kali aku membuat kolak, Ibu hanya memakannya sekali, setelah itu Ibu tak pernah memakannya lagi.

“Kamu masak apa?” tanya Ibu, begitu aku menyiapkan beberapa lauk di meja makan.

“Ayam goreng sama tempe bacem,” jawabku dengan lugas. Ya, ini adalah lauk sahur yang Akang sebutkan. Sengaja aku membuat lauk yang sama, walaupun tidak ada alasan untuk itu, hanya ingin.

“Oh, dapat uang dari mana? Kamu udah dapat kerja?”

Diam-diam aku membuang napas, Ibu tidak lupa kan aku bekerja sebagai guru di TPA?

“Gaji di TPA,” jawabku dengan setenang mungkin, karena bagaimanapun juga, aku tetap tidak bisa marah.

“Coba gitu, kamu cari kerja yang gajinya besar. Jangan di TPA, gajinya kecil.”

“Bu…” Aku menghela napas sedalam mungkin, berusaha meredam emosi yang saat ini bergejolak. “Udah azan, ayo buka.”

Setelah itu, Ibu tak lagi membahas soal pekerjaan. Entah mungkin Ibu sadar, atau mungkin Ibu hanya sedang fokus dengan hidangan buka puasa.

“Ibu mau salat magrib dulu, kamu makan duluan saja,” ujar Ibu seraya beranjak dari meja makan.

Baru saja selangkah, Ibu kembali menatapku. Aku yang sudah bersiap dengan pembahasan Ibu, hanya bisa menahan napas.

“Ibu pinjam sajadah yang di kamar kamu. Punya Ibu dicuci.”

“Mau Hanisa ambilkan?” tanyaku, seraya mempelajari raut wajah Ibu yang entah kenapa sulit aku terka.

“Biar Ibu saja. Kamu makan duluan.”

Belum sempat aku menjawab, Ibu langsung pergi menuju kamarku. Entah apa yang Ibu pikirkan sekarang, raut wajahnya sulit aku terka. Ibu mungkin sedang kecewa padaku, atau mungkin juga sedang rindu Aa dan Akang. Entahlah, aku sedang tidak ingin peduli, sudah cukup lelah aku menahan gejolak emosi mengenai mereka. Seperti yang Ibu bilang, lebih baik aku makan duluan dan segera menunaikan salat magrib untuk meredam emosiku.

Mungkin lima belas menit lamanya aku menyelesaikan makan dan mengambil air wudu, sampai akhirnya aku berpapasan dengan Ibu yang baru saja keluar dari kamar seraya menyerahkan sajadah. Dalam jarak yang sangat dekat ini, aku bisa melihat raut wajah Ibu yang semakin sendu, bahkan aku bisa melihat sisa air mata di kedua pelupuk matanya.

“Nanti setelah kamu salat, Ibu mau bicara sebentar sama kamu.”

Hanya itu yang Ibu katakan sebelum akhirnya Ibu melangkah ke meja makan. Sementara kini, pandanganku malah terkunci pada punggung Ibu yang semakin menjauh, hatiku mendadak gusar. Kira-kira apa yang ingin Ibu bicarakan, apakah masih terkait masalah tadi?

“Hanisa, jangan ngelamun! Cepet salat!”

Aku tersentak ketika suara Ibu mendobrak gendang telingaku, langsung saja aku terbirit-birit menuju kamar dan melaksanakan ibadah salat magrib dengan perasaan yang tidak tenang.

Di kepalaku kini penuh dengan banyak pertanyaan.

Apa yang akan Ibu bicarakan?

Apa Ibu sudah mulai lelah denganku?

Apa Ibu akan kembali membandingkanku dengan Aa dan Akang?

Atau Ibu akan menjodohkanku dengan saudagar kaya yang sudah tua itu?

Atau apa?

Saking tidak tenangnya, bacaan surat pendekku terputus-putus dan sering salah. Ditambah lagi, aku bisa merasakan kehadiran Ibu di ambang pintu, sepertinya beliau sangat menungguku selesai salat.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

Selesai sudah aku melaksanakan ibadah salat magrib. Belum sempat aku berdoa, Ibu langsung masuk dan duduk di pinggiran kasur. Ia menatapku sendu sebelum akhirnya menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya.

“Duduk sini.”

Tanpa sempat aku membuka mukena, aku langsung duduk di samping Ibu. “Ada apa, Bu? Kelihatannya penting sekali.”

Tanpa disangka, Ibu mengenggam kedua tanganku dengan hangat. “Ibu minta maaf, ya? Ibu minta maaf karena belum bisa menjadi Ibu yang sempurna buat Hanisa.”

Lidahku mendadak kelu, tak bisa mengucap barang sepatah kata pada Ibu. Bahkan ketika puluhan kata sudah tersusun di kepala, aku tetap tak bisa mengatakannya langsung.

“Terbanglah Hanisa, terbang kemanapun yang kamu mau. Jangan pikirkan Ibu.”

“I — Ibu, maksud Ibu apa? Hanisa nggak ngerti.”

Alih-alih menjawab dengan kalimat, air mata Ibu malah menjadi jawaban bisu dari pertanyaanku. Bahkan air mata Ibu semakin deras ketika sebelah tangannya membelai puncak kepalaku dengan lembut, dan itu sesuatu yang tidak pernah Ibu lakukan sebelumnya. Di detik itu pula, air mataku ikut meleleh. Perlahan aku mengerti apa yang Ibu maksud, walaupun belum pasti, tetapi aku yakin soal itu.

“Tadi Ibu tidak sengaja melihat layar komputermu, Ibu lihat kamu mengirimkan banyak lamaran pekerjaan. Ibu juga membaca buku kecilmu, sampai Ibu sadar jika Ibu sudah banyak menyusahkan kamu.”

“Ibu, bukan seperti itu. Hanisa — “

“Terbanglah Hanisa. Ibu bisa di sini, lagipula di sini ada Bu Tinah dan Bu Dewi yang selalu menemani Ibu. Carilah pekerjaan yang kamu mau, jangan terkungkung oleh rantai besi yang sebenarnya tidak ada.”

“Bu — “ Aku tak kuasa menahannya lagi, segera aku peluk Ibu dengan sangat erat. Membiarkan air mataku tumpah ruah di bahu Ibu yang terasa rapuh.

Tenggorokanku begitu tercekat, tak lagi bisa untuk sekedar berkata. Bahkan ketika Ibu melepas pelukan dan membingkai wajahku dengan kedua tangannya, aku masih tak bisa membuka mulut, terkecuali lirihan yang masih saja tersisa di bibirku.

“Hanya satu pesan Ibu ketika kamu sudah terbang, jangan lupa berpijak di tanah yang membesarkanmu.”

“Bu, Hanisa di sini saja. Temani Ibu, nanti Hanisa cari lagi pekerjaan di Bandung.”

“Jangan terkungkung oleh Ibu. Selama ini Ibu sudah banyak membuat kamu sedih dengan selalu membanding-bandingkan kamu dengan Aa dan Akang, padahal selama ini yang selalu di sisi Ibu adalah kamu. Ibu tak mau memupuk perasaan bersalah lagi.”

“Bu — “ Aku kembali memeluk Ibu. Kini tak ada lagi air mata, melainkan hanya pelukan hangat dan obrolan-obrolan kecil mengenai cita-citaku yang tak pernah aku sampaikan pada Ibu sebelumnya.

Indah dan hangat. Kedua hal itu berputar di kepalaku ketika akhirnya aku bisa merasakan pelukan dan nasihat Ibu. Tak ada penghakiman, tak ada juga perbandingan, hanya ada Ibu dan aku yang akhirnya bisa merasakan kasih sayang sebagai putri bungsu.

“Sudah azan isya. Kamu jadi imam, ya?”

Aku mengangguk dengan bersemangat. Segera aku menggelar kembali sajadah dan mengambilkan mukena Ibu di kamar. Akhirnya — akhirnya aku bisa merasakan salat berjamaah dangan Ibu. Perasaan senang ini begitu membuncah, sampai-sampai aku tak henti untuk tersenyum.

Aku segera melantunkan iqamah dan memusatkan perhatian pada ibadah salat isya. Kali ini perasaan tenang begitu menggerogoti jiwaku, dan menjadikan ibadah salat isya ini lebih khusyuk daripada sebelumnya.

Lantunan surat pendek juga tak lagi terputus-putus seperti tadi, kini lantunan surat pendek itu menjadi pasti. Dari satu rakaat ke rakaat lainnya aku merasakan ketenangan yang luar biasa, beban di kepala sampai batinku serasa terangkat sudah.

Ahh, betapa sempurnanya ramadan kali ini. Ingin aku bertemu ramadan seperti ini di hari-hari yang akan datang.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”

Namun, yang kulihat hanya punggung Ibu yang masih saja bersujud di sampingku. Awalnya aku tak punya prasangka apapun, tetapi setelah aku menunggu, tak ada tanda-tanda Ibu terbangun dari sujudnya. Mendadak, jantungku berpacu dengan cepat.

Ah, tidak mungkin kan?

“Bu..?”

Aku berniat menepuk lengan Ibu dengan pelan, namun ternyata tubuh Ibu malah terkulai lemas ke samping. Kedua tanganku sontak menggocangkan tubuh Ibu yang terasa semakin dingin.

“Bu? Bu? Ibu tidak pergi tinggalkan Hanisa, kan? Bu? Bu?”

Seolah terlambat, Ibu tak lagi merespon teriakanku. Air mata yang tadi sudah mengering, kini kembali basah.

“Inna lillahi wa inna ilaihi ro’jiun,” ucapku dengan susah payah.

Dengan langkah yang begitu berat, aku mengambil ponsel di atas nakas untuk mengirim pesan pada Aa dan Akang secara bersamaan. Walau bagaimanapun, mereka harus tahu bahwa Ibu sudah berpulang.

Assalamu’alaikum.

Inna lillahi wa inna ilaihi ro’jiun, Ibu baru saja berpulang. Aa dan Akang jangan lupa pulang, Ibu rindu pada kedua anak laki-lakinya. Hanisa juga rindu pada Aa dan Akang

***

photo by: Muhsin ck on Unsplash

Komentar

Karya tulis yang bagus dan mengharukan

Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
7 KEBIASAAN ANAK INDONESIA HEBAT DENGAN SENAM BERSAMA

Dalam rangka melaksanakan salahsatu program pemerintah dalam 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, Bapak/Ibu Guru beserta karyawan dan siswa/i SMP FK Bina Muda melaksanakan senam bersama pa

31/08/2025 20:34 - Oleh Humas SMP FK Bina Muda - Dilihat 52 kali
SOSIALISASI DUTA ANTI KEKERASAN SISWA SMP FK BINA MUDA

TPPK adalah singkatan dari Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Tim ini dibentuk untuk menjalankan tugas dalam mencegah dan menangani kekerasan yang

31/08/2025 19:57 - Oleh Humas SMP FK Bina Muda - Dilihat 54 kali
KOMUNITAS BELAJAR GURU-GURU SMP FK BINA MUDA TAHUN AJARAN 2025-2026

SMP FK Bina Muda tahun ajaran 2025-2026 ini menerapkan kembali sistem kombel (kelompok belajar) untuk semua guru-guru SMP FK Bina Muda. Kombel ini merupakan kumpulan guru-guru belajar

26/08/2025 09:18 - Oleh Humas SMP FK Bina Muda - Dilihat 45 kali
SOSOK TELADAN BERPANCASILA DALAM DUNIA PENDIDIKAN

M. Natsir sosok teladan berpancasila dalam dunia Pendidikan Oleh : Dadang Muslim   https://id.pinterest.com/pin/189573465554095200/   “Cendikiawan Dr Yudi Latif m

26/08/2025 08:03 - Oleh Humas SMP FK Bina Muda - Dilihat 91 kali
TIM PENCEGAHAN, PENANGANAN KEKERASAN Di LINGKUNGAN SMP FK BINA MUDA

Sebagai salah satu langkah dalam sekolah ramah anak, SMP FK Bina Muda kembali membentuk dan mengevaluasi Tim Pencegahan, Penanganan Kekerasan di lingkungan SMP FK BINA MUDA. Hal in

05/08/2025 09:53 - Oleh Humas SMP FK Bina Muda - Dilihat 98 kali
MPLS SMP FK BINA MUDA TAHUN PELAJARAN 2025-2026

" Membangun Kebersamaan dan Pertemanan melalui Kegiatan Pengenalan Lingkungan Sekolah yang Aman dan Nyaman" Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah merupakan program yang dirancang untuk me

22/07/2025 12:39 - Oleh Humas SMP FK Bina Muda - Dilihat 126 kali
KOMUNITAS BISA (Bangkitkan Inspirasi Anak Bangsa)

Komunitas Bisa (Bangkitkan Inspirasi Anak Bangsa) hadir di SMP FK Bina Muda pada tanggal 19 Juli 2025. Komunitas BISA dibentuk dengan tujuan untuk membangkitkan kembali semangat si

19/07/2025 21:34 - Oleh Humas SMP FK Bina Muda - Dilihat 110 kali
SOSIALISASI PROGRAM SEKOLAH dan DISKUSI PARENTING PENGASUHAN POSITIF

Membentuk karakter siswa/i dibutuhkan kerja sama yang kuat antara sekolah dan keluarga khususnya orang tua. Sekeras dan sekuat apapun sekolah membina, mendidik dan membimbing siswa/i

12/07/2025 22:14 - Oleh Humas SMP FK Bina Muda - Dilihat 175 kali
WORKSHOP PERSIAPAN PEMBELAJARAN TAHUN PELAJARAN 2025 - 2026

WORKSHOP PERSIAPAN PEMBELAJARAN TAHUN PELAJARAN 2025 - 2026 " Menyiapkan Pembelajaran Sepanjang Hayat melalui Pembelajaran Mendalam" "Thalabul ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli

10/07/2025 22:14 - Oleh Humas SMP FK Bina Muda - Dilihat 177 kali
PATURAY TINEUNG Bapak TATA LATIP, S.Pd

Satu lagi guru senior kami Bapak Tata Latip, S.Pd yang sudah mengabdikan dirinya di SMP FK Bina Muda dari 03 Juli 1999 sampai 03 Juli 2025 mengakhiri masa mengajar nya. Beliau merupakan

07/07/2025 21:30 - Oleh Humas SMP FK Bina Muda - Dilihat 282 kali